Tria
membelai lembut rambut panjang kekasihnya, Maya.
“Aku udah ngerasa
nyaman sama kamu. Jangan tinggalin aku,” kata Tria masih membelai rambut Maya.
“Iya sama, aku
juga begitu. Aku gak akan ninggalin kamu kok. Aku udah nemuin yang selama ini
aku cari,” sahut Maya menatap mata Tria.
“Iya sayang,
semoga kita bisa sama-sama ya”
“Amiiin”
Tria mengecup
kening Maya. Lalu menyentil hidung Maya yang mancung.
Seolah keduanya
tak ingin mengakhiri indahnya malam itu. Tak mereka perdulikan orang-orang yang
lalu lalang, yang diam-diam memperhatikan kemesraan mereka.
***
“Sayang, aku
tidur dulu ya. Capek habis latihan basket”
“Iya sayang.
Selamat istirahat yaaa”
“love you”
“love you too”
*Percakapan mereka
lewat telepon*
Maya kembali
mengetik tulisannya. Maklum, dia hobi menulis karya fiksi. Berjam-jam
dilaluinya hanya bertatap dengan laptop. Seperti kecanduan mengetik. Telepon
berdering, dari Tria.
“Sayang, aku
dirumah sakit”
“hah? Kenapa?
Siapa yang sakit,” Tanya Maya panik
“Mama. Mama
sakit,” suara Tria melemah.
“Iya, kamu jagain
mama ya. Semoga cepat sembuh”
Iya makasih
sayang.”
Maya bingung, mau
menjenguk atau tidak. Selama ini dia belum pernah dikenalkan oleh Tria dengan
keluarganya. Jadi sementara ini Maya hanya membantu lewat do’a.
-----
Maya menyantap ayam goreng
pesanannya bersama sahabatnya. Sangat tampak lesu.
“Aulia, aku sedih…..
mamanya Tria sakit,” ujar Maya dengan wajah lesu.
“Kamu jengukin
dong”
“ Iya, tapi aku
belum kenal keluarganya. Aku takut mereka gak setuju sama aku. Aku sama sekali
gak pernah ketemu mamanya”
“aduuuh gimana
ya, yaudah kamu coba aja dulu”
“tapi aku takut.
Kamu tau kan permasalahan kami yang rumit”
“iya juga sih. Ya
udah kamu bantu do’a buat mamanya aja”
“itu udah pasti
Au. Kok aku jadi takut gak sempet ketemu mamanya lagi ya”
“hush, jangan
ngomong gitu”
Mereka kembali
menikmati hidangan yang sudah lama mereka tunggu dari tadi. Tapi Maya masih
tampak lemas.
Hpnya berdering
lagi, sms dari Tria.
“sayang, mama
koma L”
“astaga L kamu tetap jagain mama ya”
“iya, ini aku
sama kakak kok jagain mama”
Maya semakin
khawatir. Ketakutan semakin membelenggunya. Takut tak sempat bertemu mama Tria.
Tapi fikiran itu ia buang jauh-jauh. Mamanya sudah koma, dan takut akan titik.
-----
“gimana keadaan
mama? Udah baikan”
“iya, tadi udah
sadar. Aku jadi lega”
“syukurlah. Maaf
ya aku gak ada jengukin mama kamu”
“iya gakpapa, aku
ngerti kok sayang”
Tria mengecup
kening Maya lagi. menenangkan hati kekasihnya. Maya menggenggam erat jemari
Tria. Seolah tak ingin melepaskan pelukan itu.
“sayang, jangan
sedih ya. Kamu terus do’ain mama, aku juga bantuin lewat do’a”
“iya sayang,
pasti” masih mendekap Maya. Tria merasa ada ketenangan jika dekat dengan Maya.
Sungguh, dia takut kehilangan Maya.
“itu, hpmu.
Angkat teleponnya. Siapa tau penting”
“ahh” sahut Tria
tak memperdulikan hpnya yang berdering.
Malam itu terasa
singkat. Padahal sudah 3 jam mereka duduk bersama. Tapi mau tidak mau Tria
harus pulang. Menemani mamanya lagi dirumah sakit. Maya menatap mata Tria yang
sayu. Mungkin kurang istirahat. Ditariknya lagi tangan Tria. Seolah ingin ikut
dan terus bersama.
Tria sudah pulang. Ketakutan kembali
menghantui Maya. Masuk kembali kerumah. Pikirannya kacau balau. Berbaring
diperaduannya lalu membuka ponselnya. Terkejut bukan kepalang banyak sms dari
temannya. Menanyakan sesuatu yang rasannya tidak mungkin.
“Maya, mama Tria
meninggal ya?”
What? Apa benar?
Sedangkan Dia baru saja duduk dengan anaknya. Jangan-jangan telepon yang tidak
diangkat tadi adalah kabar duka. Astaga.. maya masih tak percaya. Ucapannya
ternyata benar, Dia tak sempat bertemu mama kekasihnya. Masih tak percaya,
tanpa babibu langsung menelpon Tria.
“sayang, apa
bener mama….”
“iya. Mama
meninggal”
“sayang tabah ya,
yang kuat”
“iya iya”
“yaudah kamu
siapin aja semuanya ya” ***
Malam itu membuat
Maya tak bisa tidur nyenyak. Mama kekasihnya meninggal saat dia sedang bersama
kekasihnya. Merasa bersalah kenapa selalu menahan Tria untuk pulang.
Menjelang pagi, Maya masih kacau.
Rasa tak percaya masih menyelimutinya. Maya juga bingung hari ini melayat atau
tidak. Dia sama sekali tak mengenal keluarga Tria. Berjam-jam Maya masih
menimbang-nimbang itu semua. Dan akhirnya memutuskan untuk melayat, demi untuk
melihat jasad mama Tria.
Astaga, motor
dipakai adiknya keluar. Membuat hati semakin kalang kabut. Ini sudah jam
berapa?
Sms semua teman
untuk membantu, tapi tak ada hasil. Ada yang tak aktif, ada yang sibuk, ada
yang sakit dan lain-lain. Maya sempat
menyerah. Hanya saja Ia berusaha menahan airmatanya.
Hari sudah siang.
Adiknya belum pulang juga.
“mungkin aku gak
di ijinin untuk ketemu mamanya” benak Maya memutuskan asa.
Terdengar suara
motor miliknya, nah adik pasti datang! Akhirnya…….
Secepat kilat
Maya keluar tanpa peduli berapa km dia mengemudi motor. Yang penting bisa
menyempatkan untuk melihat almarhumah. Semoga…
Tampak kerabat sudah memenuhi rumah
duka. Suasana terasa hikmat. Tria menghampiri, menyuruh duduk disampingnya.
“mau lihat mama?
Ayo masuk?,” ajak Tria
“emm, tapi…”
“yuk masuk. Kamu
belum pernah ketemu mama kan. Kapan lagi?”
Maya membuntuti
Tria masuk kedalam rumah.
Sebuah peti ada
di tengah-tengah rumah. Didalamnya seorang wanita berbaju pengantin warna
putih. Wajahnya sudah berhias layaknya seorang mempelai wanita. Ada mahkota
kecil dikepalanya. Cantik!
“inikah mama
kekasihku. Sayang sekali, aku belum pernah mendengar suaranya. Ini saja bertemu
yang pertama dan terakhir kalinya,” benak Maya.
“kamu mau pegang
mama?,” kata Tria seraya membuka kain putih transparan diatas peti. Lalu
membelai wajah mamanya.
“gak. Gak berani”
Bertemu,
untuk yang pertama dan terakhir kalinya.
Mama,
semoga tenang disana.